Minggu, 13 Februari 2011

KURIKULUM SERBA BISA

Sebuah Cerita:
"Sore hari tahun 1990 seorang ibu mencoba memarahi anaknya yang menjelang malam masih asik bermain bola di halaman rumah bersama teman-temanya. Sang ibu berkata "terus aja main bola sampai malam" padahal saat ibu berkata memang hari sudah malam. lebih lanjut sang ibu yang perhatian kepada anaknya berkata dengan nada lebih tinggi "kalo kamu  main bola terus, mau jadi apa kamu ini?". Sang anak yang merasa jengkel karena hobinya bermain bola bergegas masuk ke rumah."
Sepenggal cerita di atas memberikan inspirasi kepadaku untuk menulis dan memahaminya.
Setelah lama kupahami ternyata maksud ibu memarahi anaknya tidaklah salah, dan sang anak yang dimarahi juga tidak juga salah. Pertanyaannya, siapakah yang salah?
Sang ibu mungkin mengharapkan anaknya menjadi pebisnis, PNS, enterpreneur, dan lainnya tetapi tidak untuk pemain sepak bola. Pada tahun itu di Indonesia gaji seorang pemain sepak bola tidaklah mencukupi kebutuhan hidup, lebih sekedar hobi saja apalagi jika dibandingkan dengan gaji pesepak bola dunia. Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, mereka adalah contoh pesepakbola profesional dunia yang dalam perkiraan sekali menghirup nafas berharga 7 ribu rupiah.
Belum dihargainya profesi pesepak bola di Indonesia inilah yang menjadi pemicu orangtua selalu marah ketika anaknya bermain bola. Padahal pada waktu itu dan jauh sebelumnya orang-orang sudah mengenal teori-toeri belajar (Piaget, Banathy, Pavlo dll). Teori konstruktivisme mengajarkan bahwa kebenaran adalah relatih pada proses belajar anak. Anak akan menemukan dan mengembangkan kompetensi dirinya jika diberikan lingkungan yang mendukung.
Sebuah Cerita:
"Ketika seorang pemuda yang baru saja mendapat gelar kesarjanaannya pulang ke desa. Di desanya ia disambut seperti seorang pahlawan yang akan membawa harapan dan kehidupan yang lebih baik bagi desanya. Maka dengan segala hormat sang pemuda dimohon untuk memimpin orang desa mengolah lahan yang terbengkelai. Dengan segala hormat pula sang pemuda memohon maaf kepada masyarakat karena tidak bisa untuk mengolah lahan tidur tersebut, dengan mengatakan "Saya ini Sarjana Komputer, jadi tidak bisa mengolah lahan tersebut. Spontan masyarakat berubah kepercayaannya kepada pemuda tersebut, dan malah menggerutu "Namanya sarjana itu harus bisa segalanya".
Cerita ini erat hubungannya dengan cerita yang pertama. Berdasarkan kedua cerita tersebut dapat ditarik sebuah gambaran potret pendidikan Indonesia yang mulai terlewati oleh Malaysia. Lebih parahnya lagi banyak orang-orang cerdas yang lahir dan besar di Indonesia tidak betah hidup di negera yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945 ini. Alasannya simple, minimnya penghargaan terhadap hasil karya dan profesi.
Pendidikan menciptakan para pendidik yang profesional (ahli dalam bidangnya), bukan ahli dalam semua bidang.
Mungkin, landasan inilah yang menjadi acuan mengapa kurikulum pendidikan kita sangat padat, hampir semua yang ada di dunia ini diberikan di bangku sekolah. Siswa sekolah dasar pada sekolah yang bonafit akan membawa sebuah tas yang berisi penuh dengan buku-buku pelajaran dengan perkiraan bobot tasnya 10 kilogram.
Maka untuk mencukupi semua kebutuhan, bahwa seorang sarjana harus serba bisa dibentuklah sebuah kerikulum serba bisa. Pertanyaannya adalah Apakah bisa? Lalu bagaimana kaitannya dengan profesionalisme?
Oleh karena semua ilmu yang ada diberikan dibangku sekolah, maka kenyataannya adalah "semua bisa, tapi setengah saja".
Orang tua kita bahkan jauh sebelumnya sudah mengenal teori-teori perkembangan, teori-teori belajar bagaimana menciptakan dan mengolah pendidikan yang baik. Jawabannya selalu klasik, "Semua teori itu terbentur dengan sistem".
BERARTI MASALAHNYA ADALAH PADA SISTEM, yang terkait dengan politik, proyek bagi-bagi, dsb.
Untuk itu tidaklah salah bila harus merubah sistem yang sudah mengakar di negara Indonesia. Apakah bisa? Memang sulit jika perubahan tidak dilakukan secara menyeluruh dan serentak. REVOLUSI PENDIDIKAN itu yang harus dilakukan jika ingin merubah secara serentak dan menyeluruh, walaupun akan memberikan dampaknya ada yang negatif.
.....................to......be...............continue