Kebanyakan dari kita tentu pernah marah. Namun, pernahkah
anda berpikir bahwa sebenarnya setiap hari (kebanyakan) manusia hidup ini pasti
pernah marah? Tiada hari tanpa marah.
Benarkah? Mari kita cermati bersama.
Di dalam kitab Tipitaka Mahanidessa Khuddaka Nikaya 29/348,
dijelaskan bahwa kemarahan terdiri dari beberapa tingkat. Kemarahan yang:
- Hanya membuat pikiran keruh, tapi belum sampai membuat muka cemberut.
- Membuat muka cemberut, tapi belum membuat badan gemetar.
- Membuat badan gemetar tapi, belum membuat mulut mengeluarkan cacian dan umpatan.
- Membuat mulut mengeluarkan cacian (ucapan kasar), tapi belum menengok kesana kemari (untuk mencari alat pemukul/senjata).
- Membuat kepala menengok kesana kemari, tapi belum mengambil alat pemukul/senjata.
- Telah mengambil senjata, tapi belum mempergunakannya, hanya mengancam.
- Telah mengancam, tapi belum memukul orang lain.
- Telah memukul, tapi belum melukai orang lain.
- Telah melukai orang lain, tapi belum membuat patah tulang.
- Telah membuat patah tulang orang lain, tapi belum terlepas dari tubuh.
- Telah membuat anggota badan orang lain terlepas dari tubuh, tapi belum sampai mati.
- Telah membunuh orang lain, tapi belum membunuh diri sendiri.
- Maka, bila ia telah membunuh dirinya sendiri, berarti kemarahannya telah mencapai puncak dan membuat pikirannya gelap sama sekali.
Jadi, yang dikatakan marah bukan hanya bila seseorang telah
menunjukkan tanda-tanda nyata kemarahan. Misalnya, mukanya merah padam dengan
mata yang merah bagaikan bara api, menghardik dengan kata-kata kasar dan kotor
karena telah lepas kontrol. Tapi, juga bila seseorang telah kehilangan rasa
kesabaran dalam hati/pikiran. Misalnya, perut sudah lapar, tapi belum ada
kesempatan untuk makan, membuat pikiran tak sabar menunggu waktu makan. Atau,
melihat (bertemu) sesuatu atau seseorang yang tak disukai, membuat muka
cemberut tak lagi berseri.
Singkat kata, yang dikatakan marah adalah, bila seseorang
telah kehilangan (sedikit saja) kesabaran, walau belum menunjukkan tanda-tanda
nyata.
Jadi, jelas bukan? Tiada hari tanpa marah.
Biasanya, seseorang harus memaksa diri agar gejala kemarahan
tak sampai meluap keluar bagaikan lahar dari gunung berapi. Masih bisa diredam
bila tingkat kemarahannya masih ringan. Namun, bila tingkat kemarahan itu telah
demikian besarnya, lahar itu pasti meluap keluar dalam berbagai bentuk
kekasaran dan kekerasan. Dari muka yang cemberut, jengkel, caci maki yang
kasar, sampai dengan membunuh orang lain bahkan membunuh diri sendiri.
Kemarahan muncul pasti ada penyebabnya. Ada beberapa hal
yang menyebabkan kita menjadi marah, seperti yang disebutkan dalam Aghatavatthu
Sutta (24/79):
- Marah, karena kita pernah dirugikan orang lain.
- Marah, karena kita sedang dirugikan orang lain.
- Marah, karena kita akan dirugikan orang lain.
- Marah, karena seseorang yang kita sayangi pernah dirugikan orang lain.
- Marah, karena seseorang yang kita sayangi sedang dirugikan orang lain.
- Marah, karena seseorang yang kita sayangi akan dirugikan orang lain.
- Marah, karena orang yang tidak kita sukai pernah dibantu orang lain.
- Marah, karena orang yang tidak kita sukai sedang dibantu orang lain.
- Marah, karena orang yang tidak kita sukai akan dibantu orang lain.
- Marah, yang seolah-olah tanpa sebab. Misalnya, pada batu kecil yang kita tendang dengan tidak sengaja saat sedang berjalan, juga marah pada diri sendiri.
Dalam Dhananjani Sutta (15/626), Sang Buddha menyatakan
ciri-ciri kemarahan, mempunyai akar bagaikan racun yang berbisa dan puncak
bagaikan madu yang manis. Dikatakan akarnya bagaikan racun berbisa karena bila
kemarahan mulai menguasai seseorang, pikiran akan kacau, gelisah dan panas.
Sehingga, ingin segera melampiaskan kemarahannya itu. Mengumpat dengan
kata-kata kasar, memukul ataupun merusak dan menghancurkan sesuatu atau orang
yang menjadi penyebab kemarahannya. Namun, bila kemarahannya telah
terlampiaskan ia akan merasa lega. Otaknya akan menjadi dingin (walau kadang
disertai penyesalan). Itulah sebabnya, dikatakan mempunyai puncak bagaikan madu
yang manis.
Panasnya kemarahan melebihi panasnya api. Kerugian harta dan
nyawa yang ditimbulkan oleh api kemarahan, akan berlipat ganda lebih banyak
dari kerugian harta dan nyawa yang disebabkan oleh api biasa.
Coba anda bayangkan. Dalam dunia yang berpenduduk
bermiliar-miliar orang ini, dalam sehari, ada berapa kali api kemarahan
berkobar. Yang berskala kecil maupun yang berskala besar. Perselisihan dan
pertengkaran antara suami istri maupun antar anak dalam keluarga. Perselisihan
dan silang pendapat dalam masyarakat dan organisasi.
Bahkan, organisasi sosial keagamaan yang mengaku diri
sebagai kumpulan orang-orang bajik dan bijak pun tak terbebas dari silang
pendapat yang berakhir dengan perpecahan. Mereka saling mengaku paling bajik
dan paling bijak dari yang lain tanpa peduli bahwa agama adalah sarana menuju pada
kebaikan dan perdamaian. Sengaja ataupun tak sengaja mereka telah mengingkari
dan melawan agamanya sendiri.
Api kemarahan berkobar-kobar memenuhi dunia di belahan
manapun, berupa peperangan besar maupun kecil yang telah menelan korban tak
ternilai lagi jumlahnya. Korban berupa harta benda maupun nyawa manusia dan
mahkluk lainnya.
Peperangan boleh saja padam dan berakhir. Namun, sebenarnya
‘api’ itu tidak benar-benar padam. Ia akan tersimpan dengan baik di dalam
hati/pikiran sebagai api dendam yang suatu saat nanti pasti berkobar kembali.
Api kemarahan tidak menimbulkan cahaya terang seperti api
biasa. Sebaliknya, ia akan membuat semakin gelap dan kelamnya pikiran. Tidak
lagi bisa melihat sinar kebajikan. Tidak lagi bisa melihat dan menyadari harga
diri dan kehormatan diri sendiri maupun orang lain. Kemarahan bisa membuat
seseorang berbuat kejahatan yang biasanya tak bisa dilakukan oleh orang biasa.
Ia bisa membunuh orang tua sendiri maupun membunuh seorang Arahat. Bisa pula
membunuh diri sendiri.
Penyakit marah ini menghinggapi manusia dalam macam-macam
karakter.
Ada orang pemarah, suka ngomel. Mudah marah hanya karena
alasan yang kecil, tapi mudah pula reda. Mudah tersinggung, tapi mudah pula
memaafkan. Bagaikan jejak kaki di atas tanah berdebu. Mudah hilang karena
terpaan angin atau siraman air hujan.
Ada pula orang pemarah, tak mudah melupakan persoalan.
Persoalan kecil yang sebenarnya layak untuk dimaafkan, namun dia sulit untuk
memaafkannya. Selalu mengingat kesalahan orang lain. Mudah mengungkit persoalan
yang seharusnya telah terlupakan. Bagaikan goresan di permukaan batu. Tak mudah
hilang kena terpaan angin maupun kikisan air yang mengalir.
Ada pula orang pemarah besar. Bila ada seseorang yang
membuatnya tersinggung, walau tak langsung pada dirinya, kemarahannya langsung
meledak berkobar-kobar. Ingin segera melampiaskan kemarahannya itu, hingga
ingin menghancurkan ‘lawannya’. Bila belum ada kesempatan untuk itu, ia akan
mendendam berkepanjangan. Kecurigaan terhadap ‘lawannya’, selalu mengganggunya.
Selalu dihantui perasaan takut dikalahkan, walau si ‘lawan’ tak berniat untuk
itu. Ia terus dibakar oleh api dendam. Jangan harap mendapatkan maaf dari orang
jenis ini.
Bila anda tergolong sebagai orang-orang yang
telah disebutkan di atas apalagi jenis yang terakhir, sebaiknya anda segera
mencari cara dan usaha mengatasi penyakit anda. Kalaupun tak berhasil
membasminya, mengurangipun lumayan lah! Kalau tidak, bisa saja anda akan
menghalalkan segala cara untuk malampiaskan kemarahan anda terhadap ‘lawan’
anda. Bisa menjadi provokator, pemfitnah yang meresahkan masyarakat. Menjadi
perusuh dan sampah masyarakat.