Senin, 13 Desember 2010

Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Indonesia


Candi Panataran

Para ahli sejarah masih meneliti kapan sebenarnya agama Buddha masuk ke Indonesia. Namun banyak orang sependapat bahwa kedatangan Aji Saka merupakan tanggal kedatangan agama Buddha di Indonesia.
Apabila kita meneliti arti kata "Aji Saka" ini, kita akan menemukan: "Aji" dalam bahasa Kawi berarti "ilmu kitab suci" sedang "Saka" berasal dari kata "Sakya". Sehingga
"Aji Saka" dapat diartikan sebagai "Pakar dalam Kitab Suci Sakya" atau Pakar Buddha Dharma. Dari sini dapat diketahui bahwa Aji Saka sebenarnya bukanlah sebuah nama, tetapi sebuah gelar. Gelar ini diberikan rakyat kepada rajanya yang sebenarnya bernama Tritustha.
Kata "Dewata" artinya dewa dan "Cengkar" artinya jahat, jadi "Dewata Cengkar" tidak lain berarti dewa jahat (awidya). Dengan demikian legenda yang telah merakyat di Jawa Tengah tentang perang dahsyat antara Aji Saka melawan Raja Dewata Cengkar, kiranya dapat diartikan sebagai perang antara Buddha Dharma melawan Kejahatan/Kebodohan (Awidya).
Aji Saka bukan hanya pakar dalam Buddha Dharma, tetapi juga seorang pakar astronomi dan sastra. Dalam legenda Jawa dikatakan bahwa untuk menandai kekhilafan beliau dalam memberi perintah kepada dua orang panglimanya yang setia --yang menyebabkan mereka berperang tanding sendiri dan keduanya gugur karena sama "jayanya"--, beliau membuat Aksara Jawa.
Kalau Ha Na Ca Ra Ka dipakai untuk mengenang kedua panglimanya yang setia --Dora dan Sembada--, maka untuk mengingat kedatangannya, sebuah candrasangkala telah dibuat oleh Aji Saka. Penanggalan tahun Saka (tahun Jawa) ini dimulai pada tanggal beliau mendarat di pulau Jawa. "Nir Wuk Tanpa Jalu" adalah tanggal 0001, karena: Nir = kosong = 0; Wuk = tidak jadi = 0; Tanpa = 0; dan Jalu = 1. Permulaan waktu penanggalan tahun Saka ini sama dengan tanggal 14 Maret tahun 78 Masehi.
Kalau legenda Aji Saka ini kelak ternyata benar, maka dapatlah dikatakan agama Buddha telah masuk ke Indonesia (Jawadwipa) pada abad I Masehi, jadi jauh sebelum Candi Borobudur didirikan oleh raja-raja Wangsa Sailendra pada abad VII.
Secara singkat dapat disusun kurang lebih perkembangan agama Buddha di Indonesia sebagai berikut:
Abad I (14 Maret 78), kedatangan Aji Saka Tritustha menandai masuknya agama Buddha di Indonesia (Jawadwipa).
Abad II, III, dan IV di Indonesia (Jawa) agama Buddha sudah berkembang. Ini terbukti dari catatan-catatan Bhiksu Fa-hien yang datang ke Jawa pada abad V. Beliau menyatakan bahwa sewaktu beliau datang di Jawa agama Buddha sudah ada bersama-sama agama Hindu.
Abad IV dan V, bukti perkembangan agama Buddha dapat dilihat dari prasasti-prasasti kerajaan Purnawarman di Jawa Barat dan Mulawarman di Kalimantan.
Abad VII dan VIII adalah jaman keemasan perkembangan agama Buddha di Jawa, di bawah raja-raja Kerajaan Mataram Purba dan Sailendra. Pada abad VII ini Candi Borobudur dibangun, pembangunannya dikatakan memakan waktu kira-kira delapan puluh tahun.
Abad VIII dan IX, berdiri Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, di mana Bhiksu I-tsing pernah datang belajar agama Buddha dan bahasa Sanskerta.
Abad XI, Atisa Dipankara seorang bhiksu yang mengajarkan Vajrayana di Tibet, sewaktu mudanya juga belajar pada Bhiksu Dharmakirti di Swarnadwipa (Sumatera).

Tahun 1100-1478
berdirilah kerajaan-kerajaan: Kediri, Singasari, Tumapel, Daha, Lumajang, dan Majapahit. Akhirnya Keprabuan Majapahit runtuh, berdiri Kerajaan Islam Demak (tahun 1481) dengan rajanya Raden Patah.
Agama Buddha kemudian "hilang" dan tidak pernah dibicarakan orang lagi, hanya peninggalan-peninggalan candi-candinya masih terus dikagumi orang.
Tahun 1901
Sanghanata Aryamula Maha Upadhyaya (Pen Ching Lau He Sang) datang ke Indonesia, mula-mula menata sejumlah vihara yang dibangun umat Buddha keturunan Tionghoa dan akhirnya membangun Vihara Kuang Hua Se Jakarta.
Tahun 1912
ajaran Theosofi masuk ke Indonesia dan di kalangan para anggotanya agama Buddha mulai kembali dipelajari. Kelak ternyata bahwa kebanyakan dari para aktivis agama Buddha pada Jaman Kemerdekaan belajar agama Buddha melalui Perhimpunan Theosofi selain dari Sam Kauw Hwee.
Tahun 1934
Narada Thera datang ke Jawa dan bersama umat Buddha menanam pohon Bodhi di halaman Candi Borobudur.
Tahun 19..
Kwee Tek Hoay menerbitkan majalah "Mustika Dharma".
Tahun 1953
(Waisak 2497) Anagarika Tee Boan An dan Drs. Khoe Soe Kiam memimpin upacara peringatan Waisak pada tanggal 22 Mei di Candi Borobudur. Dengan demikian api Buddha Dharma kembali menyala di Indonesia.
Bulan Juli tahun 1953 Anagarika Tee Boan An memasuki kehidupan sebagai seorang sramanera dengan menerima diksa secara Mahayana dari Sanghanata Aryamula Maha Upadhyaya (Pen Ching Lau He Sang) di Vihara Kuang Hua Se Jakarta dan diberi nama Seck Tee Tjen. Kemudian atas saran gurunya, pada tahun yang sama beliau berangkat ke Burma untuk memperdalam pengetahuannya tentang agama Buddha.
Bulan April tahun 1954 beliau menerima upasampada sebagai bhikkhu dengan Upajjhaya Agga Maha Pandita Bhaddanta U Ashin Sobhana Mahathera (Mahasi Sayadaw), dan diberi nama Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Dengan demikian Bhikkhu Ashin Jinarakkhita adalah putera Indonesia pertama yang menjadi bhikkhu sesudah runtuhnya Keprabuan Majapahit kira-kira 500 tahun yang lampau.
Pada Hari Suci Asadha 2498 BE (tahun 1954), untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) yang lambangnya sampai sekarang masih dipakai oleh Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).
Tahun 1956
diadakan Perayaan Waisak di Candi Borobudur. Perayaan Waisak ini merupakan perayaan yang besar, karena tahun itu tepat 2500 tahun mahaparinirvananya Sang Buddha (2500 Buddhajayanti). PUUI Semarang menerbitkan buku peringatan 2500 Buddhajayanti yang berisi banyak penerangan tentang agama Buddha, antara lain mengenai Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Perbedaan Hinayana dan Mahayana.
Tahun 1958
terbentuklah Perbudhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia).
Tahun 1959
untuk pertama kalinya sejak runtuhnya Majapahit, diadakan penahbisan bhikkhu di Indonesia. Untuk penahbisan ini, 13 (tiga belas) orang bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia. Dua orang bhikkhu yang ditahbiskan saat itu adalah Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.
Tahun 1963
terbentuk Maha Sangha Indonesia yang beranggotakan baik bhikkhu-bhikkhu Theravada maupun bhiksu-bhiksu Mahayana.
Tahun 1972
nama Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) diubah menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI). Kemudian nama ini disempurnakan lagi menjadi Majelis Upasaka-Pandita Agama Buddha Indonesia dengan singkatan tetap MUABI. Akhirnya pada tahun 1979 nama MUABI ini diubah menjadi Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).
Tahun 1974
Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia (terbentuk tahun 1972 dipimpin Bhikkhu Girirakkhito) bersatu dengan nama Sangha Agung Indonesia, nama yang diberikan oleh Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depertemen Agama RI. Sebagai Ketua Sangha Agung Indonesia adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dengan tiga orang wakil ketua, yaitu Bhikkhu Jinapiya, Bhikkhu Girirakkhito, dan Bhikkhu Uggadhammo.
Tahun 1976
terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) sebagai wadah tunggal organisasi kemasyarakatan umat Buddha Indonesia yang melebur Perbudhi, Buddha Dharma Indonesia (Budhi), dan sebagainya.
Tahun 1976
terbentuk pula federasi dari beberapa majelis agama Buddha, yang diberi nama Majelis Agung Agama Buddha Indonesia (MABI). MABI diketuai oleh Soeparto Hs. dari Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi) dengan sekretaris Ir. T. Soekarno dari Niciren Syosyu Indonesia (NSI).
Tahun 1976
terbentuk Sangha Theravada yang dipimpin oleh Bhikkhu Aggabalo.
Tahun 1978
terbentuk Sangha Mahayana Indonesia yang dipimpin Bhiksu Dharmasagaro.
Tahun 1978
diadakan Lokakarya Pemantapan Agama Buddha Berkepribadian Indonesia yang diikuti semua majelis agama Buddha di Indonesia.
Tahun 1979,
tepatnya tanggal 7-9 Mei, diadakan Kongres Umat Buddha Indonesia di Yogyakarta yang melahirkan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) sebagai federasi dari sangha-sangha dan majelis-majelis agama Buddha di Indonesia yang bersifat koordinatif dan konsultatif. Panitia Kongres diketuai oleh Soewarto Kolopaking, S.H. dengan sekretaris Johan Sani Viryanata, B.A., keduanya pimpinan pusat MBI. Walubi untuk pertama kalinya dipimpin oleh seorang Sekjen, yaitu Soeparto Hs. dari Mapanbudhi. Sedang jabatan Ketua Dewan Pembina Walubi dipegang oleh Brigjen (Purn.) Soemantri M.S. dari MBI.
Tahun 1981
terbentuk Sekretariat Bersama Generasi Muda Buddhis Indonesia (Sekber GMBI) yang merupakan konfederasi dari organisasi-organisasi pemuda di lingkungan vihara. Atas permintaan DP Walubi pada tahun 1985 Sekber GMBI berganti nama menjadi Sekretariat Bersama Persaudaraan Muda-mudi Vihara-vihara Buddhayana Indonesia (Sekber PMVBI).
Tahun 1982
terbentuk Sangha Tantrayana Indonesia dalam naungan Sangha Agung Indonesia, dipimpin oleh Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo.
Tahun 1983
Hari Waisak ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Tahun 1986
terbentuk Gemabudhi (Generasi Muda Buddhis Indonesia) sebagai wadah tunggal generasi muda Buddhis Indonesia dan tergabung di KNPI. Ketua Umum DPP Gemabudhi saat ini adalah Lieus Sungkharisma dari MBI.
Tahun 1987
terbentuk KBWBI (Keluarga Besar Wanita Buddhis Indonesia) sebagai wadah tunggal wanita Buddhis Indonesia dan tergabung di Kowani. Ketua Umum PB KBWBI saat ini adalah Dr. Parwati Soepangat, M.A. dari MBI.
Tahun 1987
Niciren Syosyu Indonesia (NSI) secara resmi dikeluarkan dari Walubi.
Tahun 1994
Sangha Agung Indonesia (Sagin) dan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) juga memilih berada di luar Walubi. Sagin dan MBI konsisten dalam mempertahankan AD/ART Walubi hasil Munas II (1992) dan menolak AD/ART Walubi hasil Sidang Paripurna (1993).
Tahun 1994
terbentuk Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI), dipimpin oleh Dra. Siti Hartati Murdaya, MBA.
Tahun 1996
terbentuk lima wadah fungsional di lingkungan Sekber PMVBI, yaitu: Ikatan Pembina Gelanggang Anak-anak Buddhis Indonesia (IPGABI), Forum Komunikasi Dharmaduta Muda Buddhis Indonesia (FKDMBI), Ikatan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Imabi), Forum Komunikasi Sarjana Buddhis Indonesia (FKSBI), dan Ikatan Pengelola Media Komunikasi Buddhis Indonesia (IPMKBI).

AGAMA BUDDHA INDONESIA
Kitab Suci
Dalam perkembangan agama Buddha di Indonesia secara bertahap Theravada, Mahayana, dan Vajrayana telah tumbuh kembali di bumi nusantara. Oleh karena itu Sangha Agung Indonesia sebagai mahasangha dari ketiga aliran tersebut telah menetapkan bahwa kitab suci yang dijadikan pegangan Agama Buddha Indonesia adalah Tripitaka yang terdiri dari:
Pali Pitaka atau keranjang yang berisi Tripitaka yang bahasa pertamanya Pali (Tipitaka Pali). Tipitaka Pali ini terdiri dari Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Yang sudah diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia adalah Dhammapada, sebagian dari Digha Nikaya, dan sebagian dari Majjhima Nikaya.
Sanskerta Pitaka atau keranjang yang berisi Tripitaka dan kitab-kitab suci agama Buddha yang bahasa pertamanya Sanskerta. Pitaka ini sekarang lebih dikenal dalam bentuk Mahapitaka (Mandarin) atau Kahgyur (Tibet). Yang sudah diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia adalah Saddharma Pundarika Sutra.
Kawi Pitaka atau keranjang Kawi yang berisi kitab-kitab suci agama Buddha peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri yang ditulis dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno). Yang sudah diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia adalah Sanghyang Kamahayanikan.

Tripitaka khas milik Agama Buddha Indonesia ini merupakan modal dasar yang tidak ternilai bagi masyarakat Buddha yang majemuk. Mengingat dalam banyak hal diperlukan adanya harmoni dalam ketunggalan, terutama dalam kurikulum pendidikan agama Buddha dan dalam upacara kebersamaan.

Perlukah Hadiah dan Hukuman untuk anak

“Ganjaran/Hadiah”

Ganjaran adalah berbagai bentuk apresiasi atau penghargaan terhadap suatu prestasi yang telah dicapai oleh suatu atau sekelompok anak dalam aktifitas tertentu.

Banyak orang tua berpendapat bahwa ganjaran/hadiah tidak perlu diberikan kepada anak berprestasi karena dengan alasan yang bermacam-macam, jadi yang diperlukan adalah hukuman. Sebetulnya, hadiah atau hukuman sama pentingnya bagi pembinaan pribadi dan karir terlebih lagi untuk pembentukan prilaku anak secara konsisten.

Fungsi atau Faedah Hadiah
1.   Memiliki nilai pendidikan
      Di samping merupakan benda, hadiah juga mempunyai makna, bahwa ia telah menyadari berbuat baik yang dapat menyenangkan orang tua dan gurunya.
2.   Memberikan motivasi kepada anak
      Anak mau mengulangi perilaku yang dapat diterima bahkan dapat ditingkatkan lebih baik lagi. Hadiah juga dapat mendorong anak untuk mencapai prestasi lebih tinggi lagi.
3.   Memperkuat perilaku
      Menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri dan pemahaman bahwa sesuatu yang dilakukan tersebut betul dan diakui kebenarannya oleh lingkungan setempat. Dengan demikian anak termotivasi untuk melakukan perbuatan yang sama bahkan berusaha meningkatkannya.

“Hukuman”
-          Hukuman merupakan sanksi fisik maupun psikis terhadap suatu kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak dengan sengaja.
-     Sangat sulit menentukan hukuman kepada anak yang masih kecil karena ia melakukan tindakan salah disebabkan belum tahu hukum moral. Jadi, batasan hukuman diberikan kepada anak yang lebih besar.

Fungsi/Faedah Hukuman
1.   Fungsi Restriktif
      Dengan diberikannya suatu hukuman terhadap anak, ini berarti bahwa pengulangan perilaku yang tidak diharapkan dalam masyarakat tidak akan terjadi lagi.
2.   Fungsi Pendidikan
      Dalam kaitannya dengan pendidikan tindakan orang tua yang paling utama adalah memberikan penjelasan kepada anak tentang pemahaman adanya peraturan yang berkaitan dengan perbuatan salah atau benar. Diperlukan kesabaran dan pengetahuan yang luas dalam membimbing anak.
3.   Penguat Motivasi
      Di samping memberikan efek jera, sebaiknya pemberian hukuman juga mengandung nilai/nasehat moral yang baik atau motivasi bagi anak, untuk berprilaku sesuai yang diharapkan, yaitu positif.

Syarat-Syarat Hukuman
1.   Hukuman diberikan kepada anak yang membuat kesalahan dan patut menerima kesalahan
2.   Diberikan secara konsisten
3.   Hukuman yang diberikan harus konstruktif (membangun)
4.   Hukuman yang diberikan bersifat Impresional (tdk ditujukan pada pribadi)
5.   Dalam memberikan hukuman harus disertai alasan
6.   Hukuman merupakan alat kontrol diri
7.   Hukuman diberikan pada tempat, waktu yang tepat, sehingga anak tidak merasa malu terhadap teman atau kelompoknya.