KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM AGAMA BUDDHA
Disampaikan Oleh: Sarijo, S.Ag
(Pada acara Sosialisasi PBM Forum Kerukunan Umat Beragama di Lampung Timur)
Dapat dipahami dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, pada dasarnya “KERUKUNAN” dalam konteks kerukunan kehidupan umat beragama dapat dikaji melalui “Konsep Integrasi”. Integrasi dapat diartikan sebagai proses dimana unsur-unsur yang saling berbeda (orientasi pemikiran, wawasan-pandangan, pemahaman dan pengalaman agama dalam suatu masyarakat) dapat mencapai keserasian dan keharmonisan dalam kehidupan nyata di masyarakat tersebut. Untuk itu, diperlukan kesepakatan dan kesamaan pandangan tentang pentingnya toleransi, saling pengertian, kejujuran dalam pikiran dan tindakkan.
Pengertian Kerukunan Umat Beragama
“Suatu kondisi sosial dimana semua golongan agama bisa hidup bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.” Masing-masing dapat hidup sebagai pemeluk agama yang baik dalam keadaan rukun dan damai.
Secara pasif makna kerukunan adalah menjaga agar hidup rukun, sedangkan secara pasif berarti melakukan praktik atau usaha yang dapat mengakibatkan timbulnya kerukunan. Makna secara aktif ini dapat dilakukan dengan kegiatan yang bersifat sosial kemanusiaan, diskusi, dan musyawarah.
Kerukunan dalam Agama Buddha
Agama Buddha dalam sejarah perkembangannya telah menunjukkan bahwa agama Buddha pada masa kejayaan Sriwijaya, Majapahit maupun pada masa kerajaan Mataram Kuno telah mampu mempersatukan dan membina kerukunan hidup antar umat beragama, sehingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal ini menujukkan bahwa di mana telah terbina kerukanan hidup antar umat beragama, maka di sana akan terwujud persatuan dan kesatuan dan selanjutnya apabila persatuan dan kesatuan telah terwujud maka di situ akan dapat dibangun sebuah kerajaan yang jaya.
Memahami arti pentingnya kerukunan hidup antar umat beragama dan persatuan dan kesatuan, maka dipandang perlu untuk diuraikan fakta sejarah perkembangan agama Buddha dalam memberikan konstribusi bagi terwujudnya sebuah kerukunan.
1. Upali Sutta
Diceritakan bahwa semasa hidup Sang Buddha, Nigantha Nataputha seorang guru besar dari sekte agama Jaina mengutus Upali seorang siswanya yang cerdik, pandai dan berpengaruh di masyarakat untuk berdialog, memperbincangkan tentang ajaran Buddha yaitu Hukum Karma.
Setelah berdialog cukup panjang Upali memperoleh kesadaran bahwa ajaran Buddha tentang kamma adalah yang benar. Upali kemudian memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai muridnya. Sang Buddha menyuruh Upali untuk memikirkannya karena Upali adalah murid dari Guru Besar dan ternama, ia juga orang berkedudukan dan terpandang di masyarakat.
Akhirnya Sang Buddha menerima Upali sebagai muridnya dengan mengucapkan: “Kami terima anda sebagai umatku, sebagai muridku, dengan harapan anda tetap menghargai bekas agamamu dan menghormati bekas gurumu itu, serta membantunya”.
Dari cerita tersebut maka tampaklah bahwa masa kehidupan Sang Buddha telah menunjukkan demikian besarnya toleransi Sang Buddha terhadap keyakinan atau agama lain.
2. Maha Raja Asoka (Prasati Asoka)
Raja Asoka dalam menjalankan pemerintahannya benar-benar menjaga toleransi dan kerukunan hidup beragama, semua agama yang berkembang saat itu diperlakukan adil. Untuk mewujudkan kerukunan hidup beragama tersebut, Raja Asoka telah mencanangkan Kerukunan Hidup Beragama yang terkenal dengan “Prasasti Batu Kalinga No. XXII Raja Asoka”.
PRASASTI RAJA ASOKA
“Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa suatu dasar yang kuat. Sebaliknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu.
Dengan berbuat demikian kita telah membantu agama kita sendiri, untuk berkembang di samping menguntungkan pula agama orang lain. Dengan berbuat sebaliknya kita telah merugikan agama kita sendiri, di samping merugikan agama orang lain.
Oleh karena itu, barang siapa menghormati agamanya sendiri dan mencela agama orang lain, semata-mata karena didorong oleh rasa bakti pada agamanya sendiri dengan berpikir; bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri. Dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia mendengar ajaran orang lain”. (Proyek Bimbingan P4, 1983/1984,: 28, SM Rasyid, 1988).
3. Era Kerajaan di Indonesia
Pada jaman Keprabuan Majapahit telah berhasil menghantarkan bangsa di nusantara kita ini memasuki jaman keemasan karena adanya kerukunan hidup beragama, yakni kerukunan hidup antar umat beragama Hindu dan umat beragama Buddha, yang berhasil mewujudkan persatuan dan kesatuan negara tersebut.
Pada masa tersebut seorang pujangga besar telah menyusun karya sastra “Sutasoma”, yang di dalam mukadimahnya tersurat sebuah kalimat yang memiliki makna terdalam guna membina kerukunan persatuan dan persatuan antar umat beragama, yaitu: “Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”. Kalimat sakti tersebut sekarang telah dijadikan motto atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika di lambang negara garuda pancasila.
Kerukunan Hidup Umat Beragama Buddha di Masa Pembangunan
Pada beberapa tahun yang lalu, sebagai hasil dari dialog intern umat beragama, Dialog antar umat beragama dan dialog antar umat beragama dengan pemerintah, akhirnya lahirlah Tri Kerukunan Hidup Beragama, yaitu:
1) Kerukunan Intern Umat Beragama
2) Kerukunan Antar Umat Beragama
3) Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah
Upaya yang dapat ditempuh umat Buddha dalam rangka menuju terciptanya dan melestarikan Tri Kerukunan tersebut adalah dengan meningkatkan Moral, Etika, dan Akhlak bangsa yang disebut SILA. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Moral dalam manifestasinya dapat berupa aturan, prinsip-prinsip, benar dan baik, terpuji dan mulia.
Selain menjaga diri dengan Sila, umat Buddha dapat mengembangkan kesempurnaan-kesempurnaan (Paramita). Menurut Sang Buddha berkembangnya perpecahan dan hancurnya persatuan dan kesatuan (kerukunan) mengakibatkan pertentangan, pertengkaran. Sang Buddha bersabda dalam Dhammapada ayat 6, sebagai berikut:
“Mereka tidak tahu bahwa dalam pertikaian mereka akan hancur dan musnah, tetapi mereka yang melihat dan menyadari hal ini damai dan tenang”.
Sumber dari perpecahan menurut Sang Buddha dijelaskan dalam Dhammapada ayat 5, yaitu:
“Di dunia ini kebencian belum pernah berakhir jika dibalas dengan membenci, tetapi kebencian akan berakhir kalau dibalas dengan cinta kasih. Ini adalah hukum kekal abadi”.
Dari kutipan di atas, dengan jelas diungkapkan bagaimana akibat dari pikiran yang jahat bagi seseorang, bagi suatu golongan tertentu, bagi suatu bangsa bahkan bagi umat manusia. Maka diperlukan kedewasaan berpikir. Berkata dan bertindak (sila). Dasarnya adalah ajaran Buddha dalam Anguttara Nikaya II, yaitu: Hiri (perasaan malu untuk berbuat tidak baik dan Ottapa (rasa takut akan akibat perbuatan jahat). Dua dasar tersebut adalah Lokapala Dhamma atau Dhamma pelindung dunia.
Sehubungan dengan hal itu, pada masa pembangunan umat Buddha Indonesia hendaknya selalu menjadikan ajaran-ajaran Sang Buddha sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan beragama.
Kesimpulan
Konsep kerukunan yang diajarkan Sang Buddha bukanlah konsep teoritis namun harus dibarengi dengan praktik nyata. Memahami kerukunan dapat dilihat segi pasif dan aktif. Banyak manfaat baik sebagai hasil dari kerukunan merupakan tujuan dari kerukunan itu sendiri. Dalam hal ini jelaslah tidak ada ada kata “Tidak” untuk hidup rukun bagi umat Buddha.
1. Pada prinsipnya ajaran agama Buddha mengajarkan kepada umat Buddha untuk membebaskan diri dari penderitaan, secara universal agama Buddha mengajarkan agar semua makhluk hidup berbahagia. Konsepsi ini memberikan peluang untuk memungkinkan terciptanya kerukunan intern dan antar umat beragama.
2. Dengan dasar ajaran cinta kasih (metta) dan kasih sayang (karuna) terhadap semua makhluk, agama Buddha memberikan peluang dan wawasan kepada umatnya untuk memiliki wawasan keagamaan yang insklusif mau menerima dan menghargai kehadiran golongan agama lain di luar dirinya.
3. Dengan faktor kepribadian Pancasila, dalam bentuk hubungan kekerabatan dalam masyarakat Indonesia merupakan faktor peredam terhadap timbulnya pertentangan antar agama.
Sekian
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata
(Semoga Semua Makhluk Berbahagia)
Referensi:
Kitab Suci Tipitaka, Anguttara Nikaya II
----------- Dhammapada
Corneles Wowor, MA., Pandangan Sosial Agama Buddha, penerbit: Aryasuryacandra, 1991.
Corneles Wowor, M.A., Herman S. Endro, S.H., Dr. Hudoyo Hupudio, Materi Pokok Pendidikan Agama Buddha Modul 1 – 3, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, 1986
…., Kitab Suci Dhammapada, Yayasan Dhammadipa Arama bagian Penerbitan, Jakarta, 1993
…., Pedoman Pelaksanaan P-4 bagi Umat Buddha, penerbit: Hanuman Sakti, 1993.
…., Pedoman Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Proyek Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama RI, Jakarta, 1989/1990.
MANTAP BOSS... MAJU TERUS N SUKSES SELALU.
BalasHapus