Jumat, 21 Desember 2012

KEMARAHAN



Kebanyakan dari kita tentu pernah marah. Namun, pernahkah anda berpikir bahwa sebenarnya setiap hari (kebanyakan) manusia hidup ini pasti pernah marah? Tiada hari tanpa marah.
Benarkah? Mari kita cermati bersama.
Di dalam kitab Tipitaka Mahanidessa Khuddaka Nikaya 29/348, dijelaskan bahwa kemarahan terdiri dari beberapa tingkat. Kemarahan yang:
  1. Hanya membuat pikiran keruh, tapi belum sampai membuat muka cemberut.
  2. Membuat muka cemberut, tapi belum membuat badan gemetar.
  3. Membuat badan gemetar tapi, belum membuat mulut mengeluarkan cacian dan umpatan.
  4. Membuat mulut mengeluarkan cacian (ucapan kasar), tapi belum menengok kesana kemari (untuk mencari alat pemukul/senjata).
  5. Membuat kepala menengok kesana kemari, tapi belum mengambil alat pemukul/senjata.
  6. Telah mengambil senjata, tapi belum mempergunakannya, hanya mengancam.
  7. Telah mengancam, tapi belum memukul orang lain.
  8. Telah memukul, tapi belum melukai orang lain.
  9. Telah melukai orang lain, tapi belum membuat patah tulang.
  10. Telah membuat patah tulang orang lain, tapi belum terlepas dari tubuh.
  11. Telah membuat anggota badan orang lain terlepas dari tubuh, tapi belum sampai mati.
  12. Telah membunuh orang lain, tapi belum membunuh diri sendiri.
  13. Maka, bila ia telah membunuh dirinya sendiri, berarti kemarahannya telah mencapai puncak dan membuat pikirannya gelap sama sekali.
Jadi, yang dikatakan marah bukan hanya bila seseorang telah menunjukkan tanda-tanda nyata kemarahan. Misalnya, mukanya merah padam dengan mata yang merah bagaikan bara api, menghardik dengan kata-kata kasar dan kotor karena telah lepas kontrol. Tapi, juga bila seseorang telah kehilangan rasa kesabaran dalam hati/pikiran. Misalnya, perut sudah lapar, tapi belum ada kesempatan untuk makan, membuat pikiran tak sabar menunggu waktu makan. Atau, melihat (bertemu) sesuatu atau seseorang yang tak disukai, membuat muka cemberut tak lagi berseri.
Singkat kata, yang dikatakan marah adalah, bila seseorang telah kehilangan (sedikit saja) kesabaran, walau belum menunjukkan tanda-tanda nyata.
Jadi, jelas bukan? Tiada hari tanpa marah.
Biasanya, seseorang harus memaksa diri agar gejala kemarahan tak sampai meluap keluar bagaikan lahar dari gunung berapi. Masih bisa diredam bila tingkat kemarahannya masih ringan. Namun, bila tingkat kemarahan itu telah demikian besarnya, lahar itu pasti meluap keluar dalam berbagai bentuk kekasaran dan kekerasan. Dari muka yang cemberut, jengkel, caci maki yang kasar, sampai dengan membunuh orang lain bahkan membunuh diri sendiri.
Kemarahan muncul pasti ada penyebabnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan kita menjadi marah, seperti yang disebutkan dalam Aghatavatthu Sutta (24/79):
  1. Marah, karena kita pernah dirugikan orang lain.
  2. Marah, karena kita sedang dirugikan orang lain.
  3. Marah, karena kita akan dirugikan orang lain.
  4. Marah, karena seseorang yang kita sayangi pernah dirugikan orang lain.
  5. Marah, karena seseorang yang kita sayangi sedang dirugikan orang lain.
  6. Marah, karena seseorang yang kita sayangi akan dirugikan orang lain.
  7. Marah, karena orang yang tidak kita sukai pernah dibantu orang lain.
  8. Marah, karena orang yang tidak kita sukai sedang dibantu orang lain.
  9. Marah, karena orang yang tidak kita sukai akan dibantu orang lain.
  10. Marah, yang seolah-olah tanpa sebab. Misalnya, pada batu kecil yang kita tendang dengan tidak sengaja saat sedang berjalan, juga marah pada diri sendiri.
Dalam Dhananjani Sutta (15/626), Sang Buddha menyatakan ciri-ciri kemarahan, mempunyai akar bagaikan racun yang berbisa dan puncak bagaikan madu yang manis. Dikatakan akarnya bagaikan racun berbisa karena bila kemarahan mulai menguasai seseorang, pikiran akan kacau, gelisah dan panas. Sehingga, ingin segera melampiaskan kemarahannya itu. Mengumpat dengan kata-kata kasar, memukul ataupun merusak dan menghancurkan sesuatu atau orang yang menjadi penyebab kemarahannya. Namun, bila kemarahannya telah terlampiaskan ia akan merasa lega. Otaknya akan menjadi dingin (walau kadang disertai penyesalan). Itulah sebabnya, dikatakan mempunyai puncak bagaikan madu yang manis.
Panasnya kemarahan melebihi panasnya api. Kerugian harta dan nyawa yang ditimbulkan oleh api kemarahan, akan berlipat ganda lebih banyak dari kerugian harta dan nyawa yang disebabkan oleh api biasa.
Coba anda bayangkan. Dalam dunia yang berpenduduk bermiliar-miliar orang ini, dalam sehari, ada berapa kali api kemarahan berkobar. Yang berskala kecil maupun yang berskala besar. Perselisihan dan pertengkaran antara suami istri maupun antar anak dalam keluarga. Perselisihan dan silang pendapat dalam masyarakat dan organisasi.
Bahkan, organisasi sosial keagamaan yang mengaku diri sebagai kumpulan orang-orang bajik dan bijak pun tak terbebas dari silang pendapat yang berakhir dengan perpecahan. Mereka saling mengaku paling bajik dan paling bijak dari yang lain tanpa peduli bahwa agama adalah sarana menuju pada kebaikan dan perdamaian. Sengaja ataupun tak sengaja mereka telah mengingkari dan melawan agamanya sendiri.
Api kemarahan berkobar-kobar memenuhi dunia di belahan manapun, berupa peperangan besar maupun kecil yang telah menelan korban tak ternilai lagi jumlahnya. Korban berupa harta benda maupun nyawa manusia dan mahkluk lainnya.
Peperangan boleh saja padam dan berakhir. Namun, sebenarnya ‘api’ itu tidak benar-benar padam. Ia akan tersimpan dengan baik di dalam hati/pikiran sebagai api dendam yang suatu saat nanti pasti berkobar kembali.
Api kemarahan tidak menimbulkan cahaya terang seperti api biasa. Sebaliknya, ia akan membuat semakin gelap dan kelamnya pikiran. Tidak lagi bisa melihat sinar kebajikan. Tidak lagi bisa melihat dan menyadari harga diri dan kehormatan diri sendiri maupun orang lain. Kemarahan bisa membuat seseorang berbuat kejahatan yang biasanya tak bisa dilakukan oleh orang biasa. Ia bisa membunuh orang tua sendiri maupun membunuh seorang Arahat. Bisa pula membunuh diri sendiri.
Penyakit marah ini menghinggapi manusia dalam macam-macam karakter.
Ada orang pemarah, suka ngomel. Mudah marah hanya karena alasan yang kecil, tapi mudah pula reda. Mudah tersinggung, tapi mudah pula memaafkan. Bagaikan jejak kaki di atas tanah berdebu. Mudah hilang karena terpaan angin atau siraman air hujan.
Ada pula orang pemarah, tak mudah melupakan persoalan. Persoalan kecil yang sebenarnya layak untuk dimaafkan, namun dia sulit untuk memaafkannya. Selalu mengingat kesalahan orang lain. Mudah mengungkit persoalan yang seharusnya telah terlupakan. Bagaikan goresan di permukaan batu. Tak mudah hilang kena terpaan angin maupun kikisan air yang mengalir.
Ada pula orang pemarah besar. Bila ada seseorang yang membuatnya tersinggung, walau tak langsung pada dirinya, kemarahannya langsung meledak berkobar-kobar. Ingin segera melampiaskan kemarahannya itu, hingga ingin menghancurkan ‘lawannya’. Bila belum ada kesempatan untuk itu, ia akan mendendam berkepanjangan. Kecurigaan terhadap ‘lawannya’, selalu mengganggunya. Selalu dihantui perasaan takut dikalahkan, walau si ‘lawan’ tak berniat untuk itu. Ia terus dibakar oleh api dendam. Jangan harap mendapatkan maaf dari orang jenis ini.
Bila anda tergolong sebagai orang-orang yang telah disebutkan di atas apalagi jenis yang terakhir, sebaiknya anda segera mencari cara dan usaha mengatasi penyakit anda. Kalaupun tak berhasil membasminya, mengurangipun lumayan lah! Kalau tidak, bisa saja anda akan menghalalkan segala cara untuk malampiaskan kemarahan anda terhadap ‘lawan’ anda. Bisa menjadi provokator, pemfitnah yang meresahkan masyarakat. Menjadi perusuh dan sampah masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar